Hukum Islam dan Budaya Lokal

Penulis : Dr. Azmi Siradjuddin, Lc., M.Hum.

Hubungan antara hukum Islam dan budaya lokal merupakan hubungan saling memberi justifikasi¹ antara keduanya. Justifikasi di sini adalah suatu kajian keilmuan secara fakta dan menjadikannya sebuah Islamic studies² (kajian ilmu keislaman) di mana satu sisi hukum Islam adalah hukum yang menjustifikasi akan eksistensinya dan kemurnian aturan/hukum yang kebenarannya mutlak dan pasti (qhat’i) karena datangnya dari sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Satu sisi budaya lokal yang notabene dan an sich³ (ansih) adalah seperangkat perilaku umat manusia dalam bentuk kesukuan yang disosialisasikan dalam bentuk budaya atau kebudayaan sehingga perilaku ini juga mendapat justifikasi akan keberadaannya dan kekuatan magis nya yang selalu dipertahankan dari generasi ke generasi sehingga sifatnya mengikat bahkan mempunyai kekuatan memaksa untuk dikerjakan dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Ini sebuah realita dan the bare fact (kenyataan yang nyata) bahwa perilaku manusia yang diturunkan dari nenek moyang akan terus dipertahankan hingga ke anak keturunannya. Bahkan dalam kajian Islamic studies ini yang dikenal dengan “al-a’dah al-muhakkamah” (al-Qoidah al-Fiqhiyyah). Adat istiadat atau perilaku yang dipelihara sejak generasi ke generasi akan menjadi sebuah aturan/peraturan atau yang dikenal dalam dunia akademisi adalah hukum (hukmn dalam Bahasa Arab) selalu dipertahankan dan dilestarikan akhirnya menjadi sebuah aturan/peraturan atau hukum.

Berdasarkan narasi di atas, hubungan antara hukum Islam dan budaya lokal akan menjadi suatu kajian akademisi yang menarik untuk dikaji bersama antara dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi yang mengambil tema ini sebagai sebuah mata kuliah yang diwujudkan dalam bentuk SKS di perguruan tinggi PTKIN. Mata kuliah ini tentu menarik untuk dikaji secara faktual dan peristiwa hukum yang harus mendapat tempat untuk dilakukan penelitian lapangan dengan terjun secara langsung untuk melakukan wawancara kepada nara sumber yang sekaligus pelaku dalam mempraktikan budaya lokal yang memiliki kekuatan nilai spiritual dan nilai magis bagi masyarakat di mana mereka melestarikan dan mempertahankan eksistensi budaya mereka secara konsisten dan penuh kepercayaan dan harga diri yang selalu dipelihara baik oleh tua-tua adat maupun masyarakatnya.

Kajian dan pemahaman hubungan antara hukum Islam dan budaya lokal harus dilakukan secara intensif dengan mengacu kepada dasar-dasar kajian ilmu ke islaman seperti ushul fikih sebagai sebuah teori jitu yang dimiliki oleh ajaran Islam dalam mengkaji semua perilaku manusia terutama umat Islam. Ushul fikih merupakan kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil atau ayat-ayat baik al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW. Ushul fikih adalah sebuah senjata untuk memahami atau mengeluarkan hukum dari kedua sumber hukum Islam. Ushul fikih oleh penulis artikel ini dan sekaligus sebagai pengajar mata kuliah ushul fikih disebut sebuah teori canggih yang dimiliki oleh umat Islam dan tidak dimiliki oleh mereka di luar Islam. Dalam mempelajari budaya lokal, maka mahasiswa harus memahami hukum Islam secara kaffah (holistic) seperti memahami ushul fikih, qowaidul fiqhiyyah, maqosidul al-syariah, ijma, qiyas, istihsan, istihbab, saddu zara’i, maslahah mursalah, syarhu man qoblana, qaulu shohabi. Cabang-cabang ilmu keislaman ini perlu dipahami oleh mahasiswa untuk mengkaji hubungan antara hukum Islam dan budaya lokal, agar mahasiswa ketika mengkaji tidak terjebak dalam bentuk taqlidul a’ma (ikut-ikutan secara membabi buta). Mahasiswa tidak membela kesukuannya, mahasiswa tidak membela fi’il pesenggirihnya dan hal-hal lain yang akan menjauhkan pemahaman secara ilmiah dan mendasar dalam mengkaji hukum Islam dan budaya lokal.

Budaya lokal merupakan kebudayaan asli suatu daerah atau kelompok masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Budaya lokal dapat berupa tradisi, seni, pola pikir, hukum, dan hukum adat. Setiap kesukuan di Indonesia memiliki budaya lokal masing-masing. Penulis akan mendeskripsikan beberapa contoh budaya lokal. Budaya lokal suku Lampung; berdasarkan catatan hukum adat milik Hilman Hadikusuma⁴ dan buku Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, bahwa suku Lampung dengan corak hukum adatnya terutama dalam kewarisan. Di mana sistem kewarisan suku Lampung adalah mayorat laki-laki. Anak laki-laki tertua merupakan garis estafet sekaligus garis hukum adat untuk meneruskan kepemimpinan keluarga setelah wafatnya pewaris. Dalam sistem kewarisan mayorat laki-laki, anak tertua laki-laki dapat menguasai harta pewaris baik yang bergerak maupun tidak bergerak.

Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh penulis artikel ini di masyarakat suku Abung Kotabumi di daerah Pagar dan perkotaan Kotabumi bahwa anak laki-laki tertua adalah ahli waris yang mempunyai nilai magis dan anak laki-laki tertua mempunyai tanggung jawab besar terhadap keberlangsungan kehidupan adik beradiknya dan janda (ibu) baik kehidupan sandang pangan, pendidikan, maupun perkawinan. Oleh karena itu, hasil wawancara penulis artikel ini, bahwa harta warisan pewaris berada di bawah pengelolaan anak laki-laki tertua. Ketika penulis (peneliti) bertanya kepada beberapa tokoh adat, apakah harta warisan dibagi sesuai dengan hukum kewarisan Islam? Mereka menjawab, kami tidak membagi harta warisan pewaris sesuai hukum Islam, namun kami membagi sesuai dengan budaya lokal nenek moyang kami dengan mempertahankan anak laki-laki tertua sebagai estafet penerus pewaris. Masyarakat suku Lampung adalah masyarakat religious, yaitu masyarakat yang melestarikan hukum Islam secara konsisten sejak nenek moyang mereka hingga sekarang. Ini dapat dibuktikan bahwa suku Lampung berdasarkan data empiris dan catatan buku tentang hukum adat Lampung, suku/masyarakat Lampung 100% beragama Islam. Hal ini dapat dibuktikan secara empiris, dimana masyarakat Lampung cukup taat dengan hukum Islam.

Masyarakat Lampung tidak percaya dengan khurofat, tahayyul, dukun, paranormal, mereka tidak memasang sesajen. Namun, di bidang kewarisan, umumnya suku Lampung baik Lampung Saibatin maupun Lampung Pepadun membagi harta warisan dengan sistem budaya lokal, yaitu sistem kewarisan mayorat laki-laki. Namun, orang Lampung yang tradisi pemahaman agama Islam nya kuat karena mereka berpendidikan pesantren, maka mereka menerapkan pembagian harta warisan berdasarkan hukum kewarisan Islam. Mayoritas tua-tua adat atau orang-orang tua (nenek moyang) suku Lampung memiliki budaya lokal yang kuat dalam hal kewarisan dengan sistem mempertahankan anak laki-laki tertua untuk memegang harta pewaris seperti komentar di atas.

Perlu diketahui bahwa hkum Islam dan budaya lokal saling mempengaruhi dan berakulturasi. Hukum Islam memberikan apresiasi terhadap budaya lokal, dan budaya lokal dapat disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. 

Catatan Kaki (Footnote):

  1. “Justifikasi” merupakan proses pemberian alasan yang dapat diterima (rasional) oleh siapapun untuk men-support suatu pendapat (ro’yun), perilaku (behavior), atau keputusan (decision). Juga Justifikasi berarti sebagai suatu pembuktian atas suatu pertanyaan/pernyataan (statement) yang didasarkan pada suatu teori, definisi yang sudah terbukti. Justifikasi adalah sebuah konsep penting di dalam berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan (science), hokum, dan etika serta moral. Contoh justifikasi: 1. Menilai pemanfaatan untuk menentukan bahwa manfaat yang diperoleh lebih besar daripada risiko yang akan ditimbulkan. 2. Membuktikan sebuah pertanyaan yang didasarkan pada sebuah teori, definisi, dan dilemma yang sudah terbukti. 3. Membuktikan alasan kuat dan rasional untuk mendukung suatu pendapat, tindakan, dan keputusan. 4. Memberikan pembenaran dalam suatu keyakinan yang sudah tersebar dan applied (terpakai). Justifikasi dapat termasuk ke dalam metode ilmiah karena keyakinan, pengetahuan, dan pembuktiannya menyajikan fakta-fakta (fenomena-fenomena) bukan berdasarkan semata-mata argument. Teori justifikasi merupakan kerangka konseptual yang melibatkan cara manusia memberikan alasan atau pembenaran terhadap tindakan, keputusan, atau kepercayaan dan keyakina para pelakunya.
  2. “Islamic Studies” merupakan suatu istilah di dalam Bahasa Inggris yang berarti “studi Islam”. Islamic studies adalah kajian mendalam dan sistematis tentang Islam yang dilakukan secara akademis. Tujuan Studi Islam antara lain. 1. Memahami ajaran Islam, sejarah Islam, dan praktik perilaku umat Islam baik perilaku per individu maupun perilaku per kelompok dalam kehidupan mereka sehari-hari. 2. Memahami masa lalu dan potensi depan dunia Islam (Islamic global). 3. Mengetahui aliran-aliran dalam Islam baik yang terbentuk di Indonesia maupun di luar Indonesia (over seas/abroad). 4. Menguatkan aqidah dan keyakinan umat Islam baik individu maupun kelompok tentang hukum Islam beserta ilmu-ilmu keislamannya. Pendekatan ilmu Islamic studies adalah pendekatan doctrinal-normatif, pendekatan historis-empiris, dan pendekatan undang-undang (qonun/qowanin) serta pendekatan kebahasaan (languagetic apparoach). Pendekatan-pendekatan tersebut merupakan perpaduan pendekatan dan sekaligus sebagai metode yang akhirnya akan menghasilkan sebuah “teori”, dan berdasarkan teori tersebut akan Nampak istinbat hukumnya ketika kajian ini digunakan untuk memadukan perilaku umat Islam sendiri dan kalangan luar Islam apakah khususnya perilaku umat Islam dalam melestarikan dan membudayakan budaya lokal adalah selaras dengan kajian Islamic Studies. Adapun manfaat memahami Islamic studies: 1. Memanfaatkan studi Islam untuk pembaharuan dan pengembangan kurikulum dan pengembangan kurikulum pendidikan Islam dan pemahaman hubungan hukum Islam dan budaya lokal. 2. Memanfaatkan Islamic studies untuk transformasi kehidupan sosial budaya dan umat Islam. 3. Memanfaatkan Islamic studies untuk menuju kehidupan sosial budaya modern dan menuju generasi baldatun toyyibatun wa robbun ghofur bagi generasi kesukuan dalam masyakata muslim mendatang.
  3. “An sich” merupakan istilah Bahasa Jerman yang memiliki arti “pada dirinya sendiri”, “pada hakekatnya”. Dalam filsafat, “Ding an sich” merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Immanuel Kant, yaitu seorang filsuf Prusia. Immanuel Kant menggunakan “an sich” untuk menjelaskan sesuatu yang tidak terikat dengan kesadaran atau pengalaman. Dalam system yang dibentuk Hegel, “an sich” kadang-kadang” merujuk kepada sesuatu yang laten, tidak berbentuk, atau di dalam hubungan tertentu merujuk kepada ketidaksadaran.
  4. Profesor Hilman Hadikusuma adalah guru besar dan professor pertama di Universitas Lampung (Unila). Lahir di Kotabumi, Lampung Utara 9 Juli 1927. Beliau wafat pada tanggal 30 Agustus 2006 dengan usia 79 tahun. Beliau menulis banyak buku, seperti: Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Penulis pernah berjumpa bapak almarhum Hilman hadikusuma di kediamannya Pahoman Bandar Lampung.